Ada hal menarik yang selalu membuatku penasaran dengan dia,
Suci namanya. Dia teman
sekelasku di kelas X SMAN 3 Unggulan Sengkang. Dia begitu sederhana dan tak jarang aku
melihat dia berdiam di kelas dan memilih membaca buku daripada jajan di kantin
bersama temam-temannya.
“Mungkin dia gak bawa saku?”, tanyaku dalam hati.
“Ya, bisa jadi”, celetukku kemudian
karena setelah itu dia mengeluarkan sekantong plastik yang ternyata itu adalah
sekotak nasi lengkap dengan lauknya.
“Ups, Tapi kayanya pendapatku salah,
soalnya dia barusan menyisihkan uangnya ke kotak amal”.
Pernah suatu hari, aku bertemu
dengannya di taman kota dan dia yang kukira pendiam justru menyapaku dengan
riang, “Assalamu’alaikum, Tina. Apa kabar?”
“Wa’alaikumussalam, Suci. Alhamdulillah baik, kamu?”,
jawabku dan diapun segera menghampiri dan menyalamiku.
Setelah kutanya apa yang sedang dia
lakukan, dia pun menjawab kalau dia sedang membantu saudaranya.
“Saudaranya?” pikirku penasaran
sebab yang kulihat hanya ada beberapa anak jalanan yang sedang berlatih membaca
ataupun berhitung.
Tiba-tiba, seorang anak seusiaku
menghampiri kami seraya menyodorkan secarik kertas pada Suci. Dan tak lama
kemudian, Suci pun mengacungkan jempol sembari berkata, “Alhamdulillah, nilai
seratus buat kamu. Makin semangat ya belajarnya, aku bangga sama kamu”.
Ternyata, yang ia maksud saudara
yaitu mereka yang punya tekad kuat untuk belajar, namun tidak bisa mengenyam
bangku sekolahan.
“Astaghfirullahal’adzim, aku jadi
malu pada mereka”.
Hampir setiap tindakan temanku itu
membuatku bengong keheranan, apalagi tadi pagi ketika dia maju ke depan kelas
dan mengumumkan kepada kami, “Bagi yang berkenan menyumbangkan pakaian dan
buku, baik baru ataupun bekas. Silahkan menghubungi aku ya. Terimakasih”.
Keesokan harinya banyak teman-teman
yang turut menyumbang, termasuk dia. Ia pun tak lupa mengucapkan terimakasih
dan mendoakan kebaikkan untuk kami lagi. karena masih penasaran atas apa yang
ia lakukan, maka aku pun ikut serta membawakan pakaian-pakaian yang telah kami
masukan dalam kardus untuk disumbangkan sesuai rencana.
Aku sesekali mengeluh kecapaian,
ditambah lagi kakiku terasa pegal-pegal karena sudah sejam perjalanan. Namun,
kami belum sampai di tempat tujuan.
“Ya, udah kalau gitu kita istirahat
lagi ya?”, ucapnya seraya melemparkan senyum padaku.
“Subhanallah, dia begitu sabar,
bahkan raut kesal akan keluh kesahku pun tak pernah tampak. Aku salut sama
dia”, gumamku dalam hati sehingga aku mencoba tetap semangat dan semangat lagi
seperti dia.
Tak jauh dari pemberhentian kami
yang terakhir, dia berkata, “Alhamdulillah, sampai juga”.
“Alhamdulillah”, sahutku sembari
menghela nafas panjang.
Deg, aku terkejut dibuatnya ketika
ia mengetuk pintu sebuah gubug tua yang menurutku tak layak untuk dihuni. “Apa
dia tinggal disini?”.
Belum sempat terjawab rasa
penasaranku, tiba-tiba pintu terbuka, “kretek, kretek” terdengar begitu. Lalu,
keluarlah beberapa anak kecil menyambut kedatangan kami.
Tampak jelas rona bahagia di wajah
mereka, terlebih ketika mereka membuka kardus bawaan kami.
“Makasih ya kakak”, ucap mereka
berbarengan kepada Suci.
“Iya, sama-sama, De. Ucapin juga ke
teman kakak ini, namanya kak Tina” Balasnya seraya melirik ke arahku.
“Terima kasih, kak Tina”, seru
mereka.
Tak sampai disitu, karena sebelum
melaksanakan sholat berjamaah, Suci pun mengulungkan buku-buku dan seperangkat
alat sholat baru untuk mereka.
“Ya, Allah. Ternyata dia baik
banget”, ucapku lirih.
Pukul 16.00 WIB..
Sedih rasanya beranjak dari tempat
itu, namun aku juga tak ingin membuat orangtuaku khawatir karena belum pulang
sehingga kami segera berpamitan dan menuju halte.
Kupikir kita akan pulang menggunakan
angkutan umum, tapi satu, dua hingga empat atau lima bis ia biarkan lewat,
padahal hari sudah mulai sore. “Sebenernya apa yang ia tunggu?” pikirku.
“Cit..”, sebuah mobil mewah berhenti
di depan kami dan “Ayo”, ajaknya usai membuka pintu mobil yang entah milik
siapa itu.
Sambil melihat-lihat isi mobil yang
dipenuhi dengan buku-buku, aku kembali dibuatnya terkejut ketika sang sopir
berkata, “Nak, Suci. Tadi ibu pesen agar kita mampir ke toko ibu dulu ya?”.
Sedangkan Suci hanya mengangguk, lalu mengajakku mengobrol tentang pelajaran di
sekolah.
Kami berhenti di depan toko atau
lebih tepatnya restoran dan ia lekas memesankan hidangan untuk kami, begitu
juga untuk sopir mobil tadi.
Beberapa saat kemudian, seorang ibu
menghampiri seraya mengecup kening Suci. Suci pun langsung memperkenalkanku
pada ibu itu dan ternyata, “Waw, ibu pemilik restauran itu adalah ibunya. Aku
benar-benar tak menyangka. Meski Suci serba punya, namun ia selalu tampil
sederhana dan tidak menyombongkan diri”.
Dan aku memberanikan diri untuk
bertanya pada dia saat kami melanjutkan perjalanan pulang dan jawab dia, “Untuk
apa menyombongkan diri, di atas langitkan ada langit, ya kan? Apalagi semua ini
juga titipan-Nya semata”.
“Subhanallah”. Kataku dalam
hati. Aku sangat terkejut mendengar kata – kata dia.